Saturday, January 17, 2009

Tahun baru kemaren, udah lama sih

Pergantian Tahun 2008-2009 bertabur Doa
Matahari membenamkan tubuhnya di antara gedung, phon, dan semak-semak. Dia beranjak terlelap setelah kelelahan bekerja seharian. Semburat cahaya jingga, kuning, merah merangkai angkasa. Sinarnya yang lembut mengintip di antara daun-daun Pinus mercusii di depan jendela kamarku, seolah mengucap salam perpisahan pada tahun yang akan segera berlalu.
Sementara di berbagai sudut kota dan desa, orang-orang mondar-mandir dengan gaun gemerlap berwarna-warni, membunyikan terompet yang suaranya mirip tikus terjepit menjerit-jerit. Menaiki mobil juga sepeda yang berdesak-desakkan di depan lampu merah seperti ibu-ibu yang antri sembako, dengan nafas-nafas berwarna jelaga yang keluar dari tungku pembakaran kendaraan yang tersedak-sedak membuat dada pengendaranya semakin nelangsa, laksana terhimpit seribu ton baja.
Perayaan tahun baru memang selalu meriah, tidak peduli nasib bangsa lagi senang atau susah, tidak peduli musim panen atau paceklik, tidak peduli ada hujan, panas, atau badai sekali pun. Orang-orang akan pergi kemana saja untuk bersenang-senang dengan saudara, rekan kerja, pacar, maupun mereka yang tidak memiliki status hubungan apa pun.
Hari ini aku memilih untuk tidak mengikuti perayaan tahun baru bersama-sama teman-teman sekelasku, karena itu bukan tradisi yang harus dilestarikan untukku. Pada pergantian tahun, biasanya aku lebih senang meringkuk di bawah selimut, melindungi tulang dan gigiku yang seolah akan retak diterpa angin dan udara di malam tahun yang suhunya menurutku lebih dingin daripada freezer kulkas milik para penjual es lilin di pasar Pakis. Tahun ini, demi sebuah undangan penting dari sahabatku, aku rela melepas selimutku dan menggantinya dengan jaket hangat berwarna merah dengan garis hitam yang terbuat dari bahan cukup tebal untuk melapisi kaos hitamku yang tipis, rok hitam panjang berbunga-bunga sebesar bunga matahari berwarna krem dari bahan katun, dan kaos kaki merah hati dengan motif buah-buahan dan bunga berwarna oranye, merah muda, dan ungu yang ramai. Sekilas penampilanku tampak seperti mozaik dari pecahan kaca yang biasa ditempel di dinding-dinding gereja atau rumah-rumah tua bergaya eropa. Dengan penampilan seperti inilah aku datang pada acara doa bersama seluruh warga universitas negeri malang di masjid Al-Hikmah.
Tikar dan karpet sudah digelar dan konsumsi tampak sudah disiapkan kira-kira cukup untuk dua ratus orang. Para panitia sedang mondar-mandir mengecek sound system, membagikan kertas berisi doa yang akan dibaca dipimpin oleh seorang imam yang sudah terpercaya kelurusan akhlak dan akidahnya, dan juga membagikan konsumsi pada peserta yang jumlahnya bisa dihitung dengan dua puluh jari tidak kurang tidak lebih. Dari dua puluh jari itu yang lima belas adalah jari dari orang-orang yang sudah berumur dan sisanya adalah jari dari anak-anak seusiaku. Kemanakah perginya para mahasiswa yang mengaku dirinya intelek karena dapat berkuliah di salah satu perguruan tinggi favorit di kota malang itu? Mengapa mereka tidak hadir di momen penting dan sakral untuk melakukan pendekatan pada Yang Kuasa ini? Ah entahlah, aku sediri tidak mengerti, yang jelas sore tadi banyak sekali undangan dan ajakan dari teman-teman kuliahku untuk hang out di berbagai tempat dalam rangka merayakan pergantian tahun.
Aku enggan mengikuti ajakan mereka, aku enggan untuk terlibat dalam antrian panjang kendaraan di depan lampu merah, berjejal-jejal dalam lautan manusia kehilangan jati diri dengan bau keringat seperti trasi, cabe, pete dan bawang, juga enggan untuk menahan gemeretak tulang dan gigiku yang ngilu karena hempasan angin malam sedingin es batu. Aku lebih memilih di sini menghamparkan harapan pada Sang Pencipta, bermunajat dan berharap Dia akan menghampirkan mimpi-mimpi yang kulukiskan, menyentuh setiap harap dalam hati sehingga menjadi kenyataan di tahun-tahun yang akan datang.
Akhirnya acara doa bersama dimulai dengan khidmat dipimpin oleh seorang imam berwajah tirus, hidung mancung, matanya bulat dan tajam, bibirnya tipis, dengan alis yang tebal. Dia mengenakan surban, sarung, dan baju koko yang berwarna putih sehingga tampak bercahaya dan berwibawa. Semua peserta menundukkan kepala dan mulutnya komat-kamit membaca doa-doa selama kurang lebih satu jam lamanya.
Setelah acara usai aku berjalan pulang melewati jalan Ambarawa yang dihias bunga-bunga merah muda dari pohon-pohon angsana, diselingi aroma bunga Michelia campaca yang menyejukkan raga, dan sinar bulan yang mengintip mesra di balik senyum sabitnya.

No comments: